PERAN PEREMPUAN DALAM LINGKUP KEMASYARAKATAN ACEH LINTAS WAKTU
Gambaran
Umum dan Sejarah Singkat Aceh
Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) atau yang lebih dikenal dengan Aceh terletak di antara garis
01058’37,2” - 06004’33,6”
LU dan 94057’57,6” - 98017’13,2” BT, dengan ketinggian
rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Provinsi ini terbagi menjadi 18
kabupaten dan 5 kota, yang terdri dari 289 kecamtan, 755 mukim, dan 6464
gampong atau desa. Sebagai provinsi yang terletak paling barat Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Aceh dibatasi oleh Selat Malaka di sebelah utara
dan Timur, Provinsi Sumatra Utara di sebelah selatan, serta Samudra Indonesia
di Sebelah Barat. [1]
Provinsi
Aceh merupakan satu dari dua provinsi yang mendapatkan gelar daerah istimewa
selain Daerah Istimewa Yogyakarta. Terletak di ujung barat Pulau Sumatra, Aceh
memiliki sejarah yang panjang dan peran yang cukup penting di masa lampau, yaitu
sebagai tempat persinggahan para pedagang baik dari dan menuju ke Cina dan
India. Dalam hal ini, perdagangan memegang peran besar dalam perkembangan
Kerajaan Aceh itu sendiri. Perkembangan Aceh mulai nampak ketika Islam mulai
berkembang di Nusantara, dan meredupnya pengaruh Hindu-Budha. Komoditas seperti
kayu cendana, saapan, gandarukem, damar, getah perca, obat-obatan dan parfum,
rasamala, kapur barus, bunga lawang, lada, gading, lilin, tali sabuk, sutera,
porselin, pakaian, minyak, dan emas merupakan barang yang banyak diekspor kala
itu.[2]
Pada masa penjajahan di Nusantara, Aceh masih memegang peranan yang cukup
penting dan besar disebabkan oleh letaknya yang berada pada jalur lalu lintas
perdagangan laut serta menjadi satu-satunya negara yang berdaulat penuh.[3]
Kedaulatan tersebut seperti yang tercantum dalam Traktat London 1824, bahwa
Kedaulatan Aceh dijamin baik oleh Belanda maupun Inggris, sebagai negara penanda
tangan persetujuan itu. Meskipun di kemudian hari, wilayah Aceh berhasil
dikuasai oleh Belanda melalui Traktat Sumatra 1871, yang isinya antara lain
menyangkut kebebasan orang Belanda yang diberikan oleh Inggris untuk bertindak
di Pulau Sumatra. Hal tersebut kemudian memicu munculnya perang-perang sebagai
upaya mempertahankan wilayah Kerajaan Aceh agar tidak jatuh ke tangan Belanda.
Peran
Perempuan Aceh pada Abad ke-16 dan ke-17
Selama masa berdirinya
Kerajaan Aceh tersebut, peran perempuan tidak bisa begitu saja diabaikan.
Meskipun dikenal sebagai wilayah yang menerapkan hukum islam, namun pada
prakteknya perempuan tetap diberikan tempat untuk menjalankan pemerintahan. Hal
ini sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Kerajaan Aceh. Ketika Sultan
Iskandar Thani meninggal pada tahun 1641 tanpa memiliki keturunan, ia
digantikan oleh istrinya, putri Sultan Iskandar Muda, Putri Sri Alam Permaisuri
yang kemudian bergelar Sultan Tajul’ Alam Safiatuddin Syah. Ketika Sultan
Tajul’ Alam Safiatuddin Syah meninggal pada tahun 1675, ia digantikan oleh
Nurul’ Alam Nakiatuddin Syah yang juga seorang perempuan. Demikian halnya
dengan dua raja Aceh setelahnya juga merupakan seorang perempuan yaitu Sultan
Inayat Zakiatuddin Syah (1678 – 1688) dan Sultan Kamalat Syah (1688 – 1699). Hal
ini oleh Reid (2014) dilihat sebagi sebuah kesengajaan, seperti yang ia
paparkan berikut ini “Pada setiap kasus
inim empat wanita berturut-turut enduduki tahta, hanya wanita pertama yang
menggunakan ukuran keturunan... Keempat orang ratu Aceh (1641-1699) menyaksikan
keruntuhan militer dan politik, menyusul penaklukan-penaklukan Iskandar Muda
(tahun 1607 – 1636), namun mereka tetap mempertahankan Aceh sebagai pelabuhan
yang paling merdeka di Asia Tenggara” (Reid, 2014).
Selain
perannya dalam bidang pemerintahan, perempuan Aceh pada waktu itu memiliki
andil yang cukup dalam bidang ekonomi. Hal
ini seperti halnya yang diungkapkan oleh Reid (2014) bahwa Wanita-wanita
pemegang tahta Aceh, Jambi, dan Indragiri pada abad ke-17 juga berdagang dan
melakukan spekulasi, paling tidak sama gigihnya dengan kaum pria (Coolhaas1964:
21, 93, 257, 775 dalam Reid 2014). Lebih jauh, Reid (2014) memaparkan bahwa “... dan orang Belanda di Aceh membeli
seluruh persediaan timah untuk ekspor dari ‘seorang wanita Aceh lainnya’”
(Compostel 1636:folio 1200 dalam Reid, 2014).
Dalam hal
kepemimpinan terkait dengan peperangan yang harus di hadapi pun tidak terlepas
dari peran perempuan Aceh, seperti yang ditulis oleh Reid (2014). Dalam bukunya
Asia Tenggara dalam Kurun Niaga Jilid 1, ia mengungkapkan bahwa “Seorang raja Aceh yang sangat
otokratis,Sultan Al Mukamil (1584 – 1604), bahkan menggunakan seorang wanita
sebagai panglima angkatan lautnya ‘sebab dia tidak bisa percaya pada yang
lain’” (Davis 1600: 150 dalam Reid 2014). Selain itu ada pula tokoh-tokoh
perempuan yang turut berjuang dalam mempertahankan dari penjajah seperti Cut
Nyak Dien, Cut Meutia, Teuku Fakinah, Pocut Baren, Laksmana Malahayati, Pocut
Meurah Intan, dan lain sebagainya (Wahyuningroem, 2005). Setelah perang
melawan Belanda terakhir, hampir tidak ada lagi tokoh perempuan dalam catatan
sejarah Aceh (Wahyuningroem, 2005).
[1] Info grafik Provinsi Aceh
[2] (Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, 2008)
[3] (Poesponegoro,
Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia, 2008)
Peran
Perempuan Aceh pada Abad ke-16 dan ke-17
Selama masa berdirinya
Kerajaan Aceh tersebut, peran perempuan tidak bisa begitu saja diabaikan.
Meskipun dikenal sebagai wilayah yang menerapkan hukum islam, namun pada
prakteknya perempuan tetap diberikan tempat untuk menjalankan pemerintahan. Hal
ini sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Kerajaan Aceh. Ketika Sultan
Iskandar Thani meninggal pada tahun 1641 tanpa memiliki keturunan, ia
digantikan oleh istrinya, putri Sultan Iskandar Muda, Putri Sri Alam Permaisuri
yang kemudian bergelar Sultan Tajul’ Alam Safiatuddin Syah. Ketika Sultan
Tajul’ Alam Safiatuddin Syah meninggal pada tahun 1675, ia digantikan oleh
Nurul’ Alam Nakiatuddin Syah yang juga seorang perempuan. Demikian halnya
dengan dua raja Aceh setelahnya juga merupakan seorang perempuan yaitu Sultan
Inayat Zakiatuddin Syah (1678 – 1688) dan Sultan Kamalat Syah (1688 – 1699). Hal
ini oleh Reid (2014) dilihat sebagi sebuah kesengajaan, seperti yang ia
paparkan berikut ini “Pada setiap kasus
inim empat wanita berturut-turut enduduki tahta, hanya wanita pertama yang
menggunakan ukuran keturunan... Keempat orang ratu Aceh (1641-1699) menyaksikan
keruntuhan militer dan politik, menyusul penaklukan-penaklukan Iskandar Muda
(tahun 1607 – 1636), namun mereka tetap mempertahankan Aceh sebagai pelabuhan
yang paling merdeka di Asia Tenggara” (Reid, 2014).
Selain
perannya dalam bidang pemerintahan, perempuan Aceh pada waktu itu memiliki
andil yang cukup dalam bidang ekonomi. Hal
ini seperti halnya yang diungkapkan oleh Reid (2014) bahwa Wanita-wanita
pemegang tahta Aceh, Jambi, dan Indragiri pada abad ke-17 juga berdagang dan
melakukan spekulasi, paling tidak sama gigihnya dengan kaum pria (Coolhaas1964:
21, 93, 257, 775 dalam Reid 2014). Lebih jauh, Reid (2014) memaparkan bahwa “... dan orang Belanda di Aceh membeli
seluruh persediaan timah untuk ekspor dari ‘seorang wanita Aceh lainnya’”
(Compostel 1636:folio 1200 dalam Reid, 2014).
Dalam hal
kepemimpinan terkait dengan peperangan yang harus di hadapi pun tidak terlepas
dari peran perempuan Aceh, seperti yang ditulis oleh Reid (2014). Dalam bukunya
Asia Tenggara dalam Kurun Niaga Jilid 1, ia mengungkapkan bahwa “Seorang raja Aceh yang sangat
otokratis,Sultan Al Mukamil (1584 – 1604), bahkan menggunakan seorang wanita
sebagai panglima angkatan lautnya ‘sebab dia tidak bisa percaya pada yang
lain’” (Davis 1600: 150 dalam Reid 2014). Selain itu ada pula tokoh-tokoh
perempuan yang turut berjuang dalam mempertahankan dari penjajah seperti Cut
Nyak Dien, Cut Meutia, Teuku Fakinah, Pocut Baren, Laksmana Malahayati, Pocut
Meurah Intan, dan lain sebagainya (Wahyuningroem, 2005). Setelah perang
melawan Belanda terakhir, hampir tidak ada lagi tokoh perempuan dalam catatan
sejarah Aceh (Wahyuningroem, 2005).
Peran
Perempuan Aceh di Era Modern
Isu mengenai peran perempuan Aceh rupanya merupakan isu
yang cukup hangat ketika pra dan pasca konflik di Aceh. Seperti yang disebutkan
dalam salah satu Rubrik berjudul Perempuan dan Integritas Dalam Memimpin, yang
di publikasikan atas kerjasama Harian Serambi Indonesia dengan International
Developement Law Organization, menyebutkan bahwa isu ini sempat naik sebelum
konflik Aceh memuncak, namun meredup ketika konflik Aceh mengalami puncaknya. Lebih
jauh dipaparkan bahwa isu ini kembali meningkat pasca konflik akibat banyaknya
permpuan yang harus bisa hidup mandiri setelah ditinggal suami, yang meninggal
atau menjadi korban. Hal ini berakibat pada banyak perempuan yang harus menjadi
orangtua tunggal bagi anaknya. Mereka harus berjuang dan bertahan untuk memulai
kehidupannya setelah kehilangan segala-galanya.[1]
Dari
tinjauan sejarah pada pembahasan sebelumnya, sebenarnya dapat dikatakan bahwa
tidak ada kendala yang berarti dari masyarakat apabila seorang perempuan hendak
menjadi pemimpin. Hal itu terbukti dari catatan sejarah mengenai sosok
perempuan yang menjadi pemimpin di Kerajaan Aceh. Kendala yang ada berdasarkan
dari rubrik yang dimaksud di atas, lebih kepada minimnya kualitas kemampuan
managerial dan kecerdasan baik spiritual, emosional, maupun otak.[2]
Meskipun
demikian, pada saat konflik di Aceh, kelompok perempuanlah yang paling aman
untuk bisa masuk ke wilayah konflik dan menolong korban. Akibatnya, kekuatan
sosial dan politikkelopok-ke;ompok perempuan dapat terkonsolidasi dalam sebuah
gerakan. Di beberapa kasus kekerasan dan penculikan, ada pula wanita yang
dijadikan tameng, serta ada pula yang berhasil menjadi mediator untuk
menyelesaikan kasus penangkapan orang yang tidak bersalah, yang biasanya
merupakan anggota keluarganya sendiri. Tidak sedikit pula para aktivis
perempuan yang mau bernegosiasi dengan pihak bersenjata, dibandingkan dengan
para laki-lakinya yang justru lebih memilih meninggalkan kampong halaman dengan
alasan keamanan. (Srimulyani, 2012)
Lebih jauh lagi,
Srimulyani (2012) memaparkan bahawa ketika tengah terjadi konflik di Aceh
tersebut, uncul tokoh-tokoh perempuan yang berani memperjuangkan penyelesaian
konflik Aceh lewat penyampaian fakta-fakta pelanggaran HAM ke level nasional
hingga internasional. Salah satu tokoh tersebut yaitu Suraiya Kamaruzzaman dan
beberapa tokoh lainnya yang berbicara mengenai konflik di Aceh di beberapa
negara Eropa dan lembaga internasional seperti PBB.
Peran perempuan Aceh dalam
menyelesaikan konflik rupanya tidak hanya sampai di situ. Menurut Srimulyani
(2012), melalui kongres kelompok perempuan yang dinamakan Duek Pakat Inong,
para perempuan Aceh ini berkumpul untuk mencari solusi di luar isu-isu opsi
yang sama dengan opsi ketika Timor Timur bergejolak dahulu yaitu referendum
atau merdeka. Banyak diantaranya yang lebih memilih untuk berdamai. Mereka bahkan
ikut terjun langsung ke dalam proses diplomasi dan mediasi demi terwujudnya perdamaian
di Aceh. Sebagai seorang perempuan yang lebih sering mendapat image ‘lemah’, hal ini justru
mempermudah perempuan Aceh untuk menjalankan misi kemanusiaan mereka dalam
menolong korban konflik.
Lalu, seberapa besarkah
peran perempuan Aceh dalam keikutsertaan penyelesaian konflik di Aceh?
Pertanyaan ini dijawan dengan adanya penghargaan Yap Thien award yang diterima
oleh Faridah Ariani dan Suraiya Kamaruzzaman (Srimulyani,
2012). Selain penghargaan tersebut besarnya peran perempuan Aceh dalam upaya
penyelesaian konflik tercermin dalam banyaknya organisasi perempuan yang
terbentuk baik sebelum maupun saat konflik berlangsung, diantaranya yaitu
Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RpuK), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
Daerah Aceh, Flower Aceh, Balai Inong Gampong Alue Deah Teungoh, Solidaritas
Perempuan (SP) Wilayah Aceh, dan Balai Syura
(Idris, 2011). Organisasi – organisasi tersebut pada intinya berusaha
membantu perempuan-perempuan Aceh lainnya untuk lebih berperan aktif mewujudkan
perdamaian ketika konflik berlangsung dan mampu bertahan demi keluarganya baik
selama konflik maupun saat bencana tsunami menimpa mereka hingga tidak sedikit
yang kehilangan suami, anak, orang tua, dan sanak saudara lainnya. Dalam
tulisan Ismiati (2016) bahkan juga menekankan bahwa perempuan tidak lagi bisa
dipandang sebagai korban, mereka juga memiliki kekuatan untuk bergerak sebagai
agen perubahan.
Setelah
konflik Aceh selesai bagaimanakah kelanjutan peran perempuan Aceh dalam
kemasyarakatan? Isu mengenai perempuan seperti yang telah dipaparkan diatas
merupakan isu sensitif dan menjadi perbincangan banyak pihak. Tidak sedikit
tulisan-tulisan yang membahas mengenai peranan perempuan itu sendiri. Tidak
sedikit pula perempuan yang berusaha meningkatkan kualitas hidup sesamanya,
dalam hal ini perempuan melalui berbagai hal di antaranya yaitu
organisasi-organisasi yang telah disebutkan di atas, serta melalui tulisan.
Kesimpulan
Aceh merupakan wilayah dikenal sebagai daerah
yang menerapkan hukum serta syariat Islam. Dimana dalam ajaran Islam sendiri,
tidak menganjurkan perempuan sebagai seorang pemimpin. Dalam hal ini muncul
bias mengenai penafsiran posisi perempuan dalam masyarakat. Image yang selama ini berkembang adalah
perempuan sebagai sosok korban yang seolah tidak memiliki kekuatan untuk
melawan, dalam hal ini melalui kekerasan. Hal itu dibuktikan dengan cukup
maraknya kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan fisik maupun non-fisik.
Hal itulah yang memicu munculnyaisu-isu mengenai kesetaraan gender dalam
masyarakat.
Di Aceh, bias mengenai seberapa jauh
perempuan dapat berkontribusi dalam masyarakat pun ikut muncul dan tampak cukup
besar. Namun, setelah melihat pada kesejarahan Aceh, hal ini dapat di bantah
bahwa berbicara mengenai perempuan tidak hanya tentang urusan keluarga dan
dapur saja. Terbukti dengan sosok-sosok perempuan yang sempat memimpin Kerajaan
Aceh selama 4 mas jabatan secara berturut-turut. Keterlibatan perempuan Aceh
pada kala itu rupanya tidak terbatas hanya pada bidang pemerintahan saja. Dalam
hal perdagangan yang pada umumnya juga didominasi oleh kaum pria karena pada
saat itu harus berdagang lintas pulau yang notabene ‘sukup mmembahayakan’,
perempuan pun ikut serta. Hal itu seperti yang diungkapakan oelh Reid (2014)
dalam bukunya Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga Jilid 1.
Memasuki era kemerdekaan, Aceh mengalami
pergolakan. Ketika penjajah berhasil diusir dari tanah Air,yang turut
melibatkan sosok perempuan Aceh, muncul pergolakan lain yaitu GAM dan
pemerintah. Hal ini memicu muncul banyaknya korban. Isu-isu mengenai HAM dan
perempuan cukup menghangat. Namun demikian melalui organisasi-organisasi Relawan
Perempuan untuk Kemanusiaan (RpuK), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Daerah
Aceh, Flower Aceh, Balai Inong Gampong Alue Deah Teungoh, Solidaritas Perempuan
(SP) Wilayah Aceh, dan Balai Syura, image
perempuan sebagai korban dapat di tepis. Perempuan-perempuan Aceh yang tergerak
untuk ikut serta dalam organisasi tersebut justru menunjukkan bahwa peran
perempuan terutama perempuan Aceh sangat besar dalam membantu mengatasi konflik
yang ada.
Oleh
karena itu, terlepas dari image Aceh
sebagai wilayah yang sangat berbau Islam, perempuan Aceh masih mendapatkan
tempat untuk turut serta dalamkegiatan kemasyarakatan terutama sebagai
penggerak perempuan yang mungkin masih hidup dalam tekanan laki-laki. Mereka
bergerak dengan misi kemanusiaan. Bergerak untuk memajukan Aceh, dimana
perempuan memiliki ruang untuk berkarya dan juga memimpin.
[1]
Rubrik berjudul Perempuan dan Integritas Dalam Memimpin diunduh pada 6 Desember
2016, pukul 14.32, dengan alamat www.idlo.org/DOCNews/219DOC1.pdf
[2]
Rubrik berjudul Perempuan dan Integritas Dalam Memimpin diunduh pada 6 Desember
2016, pukul 14.32, dengan alamat www.idlo.org/DOCNews/219DOC1.pdf
DAFTAR PUSTAKA
Hasjmy, A. (1993). Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan.
Banda Aceh: Yayasan Pendidikan A. Hasjmy.
Idris, Marwan dkk. (2011). Kesukarelawanan Dalam Pencegahan Kekerasan
Berbasis Gender di Aceh. Aceh.
Ismiati. (2016). Eksistensi Aktivis
Perempuan Dalam Mewujudkan Perdamaian di Aceh. Jurnal Al-Bayam Volume 22 No 33, 1-16.
Kelompok Kerja Gender. (2007). Evaluasi Situasi Perempuan Tahun 2006 di
Aceh. Banda Aceh.
Poesponegoro, M. D. (2008). Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Poesponegoro, M. D. (2008). Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan
Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Reid, A. (2014). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga Jilid 1 : Tanah di
Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Srimulyano, E. (Desember 2012). Islam, Perempuan, dan Resolusi Konflik di
Aceh (2000 - 2005). Dalam Jurnal Analisis
Volume XII No 2, 269-288.
Wahyuningroem, S. L. (2005). Peran
Perempuan dan Era Baru di Nangroe Aceh Darussalam. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, 93 - 101.
Zaimar, Y. S. (2011). Konstruksi
Identitas Perempuan Aceh Dalam Majalah Inong Aceh. Thesis : tidak untuk
di terbitkan.
Komentar
Posting Komentar