BUDHA MAHAYANA DAN KEBERADAANNYA DI JAWA TENGAH

Budha, oleh Soekmono (1973), pada awalnya merupakan sebuah ajaran atau jalan hidup yang bertujuan membebaskan manusia dari lingkaran samsara (moksa). Kelahiran budhisme disamkan dengan kelahiran Siddharta Gautama yaitu 563 SM. Agama budha lahir akibat situasi di India yang kacau dimana peran brahmana demikian dominan sehingga muncul ketidakseimbangan dalam tatanan masyarakat. Setelah kematian Siddharta Gautama, mulai muncullah perbedaan penafsiran mengenai ajaran budha. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan munculnya berbagai macamm aliran-aliran yaitu budha Mahayana (kendaraan besar) dan budha Hinayana (kendaraan kecil).
Dalam skripsinya, Wiwik (2011) berpendapat bahwa Mahayana yang timbul saat ini mencerminkan semangat sejati budha. Mahayana merupakan nama yang dipakai untuk kumpulan dari aliran-aliran Mahāsāngghika. Dalam aliran mahayana ini, terdapat banyak sekte dengan sekte madyamika dan yogacara sebagai sekte yang dominan. Oleh Soekmono (1973), dipaparkan bahwa Mahayana berpendirian bahwa seluruh umat pemeluk agama budha itu termasuk Sanggha, bukan hanya para bhiksu/bhiksuni saja. Lebih lanjut dipaparkan pula bahwa cita-citanya bukan hanya mengecap kenikmatan bagi diri sendiri, melainkan mengajak dan membimbing orang lain untuk memperoleh kenikmatan tersebut. Tujuan utama aliran ini adalah untuk mencapai budha atau menyatukan diri dengan dzat yang tertinggi (Pinardi, 2005).
            Tidak seperti Hinayana, Mahayana mengenal banyak dewa-dewa sehingga bisa dikatakan menganut paham politeisme (Rofiqoh, 2013). Selain itu, Aliran Mahayana mengenal dewa-dewa lokapala (dewa mata angin) dan dewa-dewa trimurti dalam budhisme, yang terdiri dari dyani budha, manusi budha, dan dyani bodhisatwa.[1] Aliran ini juga banyak melakukan ritual keagamaan, seperti yang dipaparkan Magetsari dalam disertasinya.
Menurut jalan Mahayana, sesudah menjalani upacara-upacara pendahuluan seperti ‘penumbuhan bodhicitta’ (bodhicittotpada), pengucapan sumpah (pranidhana), dan ‘peramalan’ (yyakarana), yang membuat seorang sadhaka meperoleh tingkat bodhisattva, yaitu tingkat kebodhisattvaan yang sedang menjadi pokok pembicaraan sekarang ini, di mana ia juga sekaligus dinyatakan mampu untuk melaksanakan carya (memasuki jalan ke bodhisattvaan, atau bertindak sebagai seorang bodhisattva.

Kitab-kitab yang digunakan sebagai acuan dalam ajaran agama budha mahayana antara lain Sang Hyang kamahayanan Mantranaya (berisi pengajaran yang ditujukan kepada para bhiksu yang sedang ditahbiskan.) dan Sang Hyang Kamahayanikan (kumpulan pengajaran, bagaimana orang dapat mencapai kelepasan).  
Oleh Pinardi (2005), disebutkan bahwa jumlah dewa yang dipuja ditambah dengan mereka yang sudah menjadi calon budha, yaitu para bodhisatwa, atau dengan kata lain adalah Sang Budha Gautama. dalam Budha Mahayana dikenal suatu doktrin yang disebut Trikaya, yaitu pengakuan adanya tiga lapisan dunia yaitu dharmakaya, sambhogakaya, dan nirmanakaya. Berdasarkan hierarkinya, terdapat 4 tokoh penting dalam aliran budha Mahayana yaitu Adibudha, Dhyani budha, Budha (Mortal Budha), dan Bodhisatwa.[2]
Tokoh Adibudha menempati hierarki yang paling penting, tidak memiliki wujud nyata. Namun karena kebutuhan pemujaan, para penganut membuat gambaran wujudnya yang disamakan dengan Adibudha yaitu Vajradhara dan Vajrasattva. Vajradhara terkenal di Nepal dan Tibet dengan saktinya yaitu Prajnaparamita. Di antara kedua wujud Adibudha tersebut, hanya wujud vajrasattva lah yang dikenal di Indonesia dalam bentuk Mahavairocana. (Pradnyawan, 2014)
Tokoh Dhyani budha berdasarkan hierarkinya berada di bawah Adibudha. Dhyanni budha adalah sebutan untuk spiritual budha yang merupakan pancaran Adhibudha. Sebutan lain untuk dhyani budha yaitu Tathagata. Dhyani budha pada candi budha biasanya diletakkan pada arah mata angin terntentu. Ada lima dhyanni budha yang dikenal yaitu Aksobhya yang menghadap ke arah timur, Ratnasambawa yang menghadap ke arah selatan, Amitabha yang menghadap ke arah barat, Amogasiddhi yang menghadap ke arah utara, dan Vairocana yang berada di titik pusat. Selain pada arah hadapnya, perbedaan terletak pada posisi tangan atau mudra. Posisi tangan tersebut masing-masing memiliki arti atau simbol tersendiri. Di antara 5 dhyani budha ini, tiga di antaranya tampil sebagai penguasa dunia masa lalu, satu masa sekarang dan satu lagi di masa yang akan datang. Tiga dhyani budha yang tampil sebagai penguasa masa lalu yaitu Aksobhya, Amogasiddhi, dan Vairocana. Satu dhyani budha yang tampil sebagai penguasa masa kini yaitu Amitabha, sedangkan Ratnasambawa merupakan dyani budha yang tampil sebagai penguasa di masa yang akan datang. (Pradnyawan, 2014)
Bodhisatwa merupakan tingkatan terakhir dalam hierarki aliran budha Mahayana. Bodhisatwa berarti makhluk yang mendapatkan pencerahan atau disebut juga calon budha. Ia merupakan makhluk yang mendedikasikan dirinya untuk kebahagiaan makhluk lain. Ada banyak bodhisatwa yang dikenal pada budha aliran mahayana. Di antaranya yang banyak ditemukan di Indonesia yaitu Samantabhadra, Ksitigarbha, Akashagarbha, Sarvanivarana vishkambhin, Avalokitesvara, Vajrapani, Manjusri, dan Maitreya. (Pradnyawan, 2014)


[1] Budhisme (Ringkasan) oleh Dwi Pradnyawan, S.S., 2014.
[2] Arca-arca Agama Budha oleh Ashar Murdihastomo,2015 


BUKTI ALIRAN MAHAYANA DI JAWA TENGAH
            Di Indonesia terutama di Jawa, budhisme mulai berkembang sekitar abad ke V Masehi. Hal ini dapat dibuktikan melalui berbagai tinggalan yang masih dapat ditemukan hingga saat ini, misalnya bangunan monumental seperti Candi Borobudur dan Candi Sewu, benda-benda relik seperti arca-arca Dhyani Buddha dan genta, maupun kitab-kitab karya sastra yang berlatar belakang Buddhisme seperti Sutasoma (Santoso 1975, 35) dan Arjunawijaya (Supomo 1977, 1, 69). keterangan tentang masuknya agama Buddha di Jawa diperoleh dari berita Fa-Shien yang menyebutkan bahwa sekitar abad V M di kerajaan bernama Ya - va - di ( Yava dwipa ) sudah ada pemeluk agama Buddha, walaupun jumlahnya sangat sedikit (Groeneveldt 1960, 6-7). Kemudian I-Tsing, seorang bhiksu Buddha dari Cina, juga menuliskan bahwa pada tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hui Ning ke Kerajaan Holing dan menetap di Holing selama kira-kira dua tahun. Dengan bantuan pendeta Holing yang bernama Jnanabhadra, Hui Ning menerjemahkan berbagai kitab suci agama Buddha Hīnayāna dari bahasa Sansekeṛta ke dalam bahasa Cina (Witjaksono dkk, 1994, 29). (Mochtar 2009)
Perkembangan budhisme di Jawa ini terutama di awali oleh aliran budha Hinayana yang dibawa oleh para bhiksu/bhiksuni. Baru pada masa kemudian, aliran Mahayana masuk dan justru lebih berkembang di Indonesia. Ciri khas dari budha aliran Mahayana ini adalah pemujaan terhadap banyak dewa. Aliran ini tidak hanya menganggap Sang Budha Gautama sebagai juru selamat, melainkan sebagai perwujudan sang Bodhi atau calon Budha yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Pinardi (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan konsep tersebut muncul teori emanasi yang mengakui tingkat-tingkat perwujudan dalam kehidupan manusia. Hierarki-hierarki yang tersebut yaitu Adibudha, Dhyani Budha, Mortal Budha, dan Bodhisatwa. Keempat Hierarki tersebut di Indonesia diwiujudkan dalam bentuk arca yang diletakkan pada candi-candi beragama Budha seperti misalnya Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Ngawen, Candi Lumbung, Candi Sewu, Candi Bubrah, Candi Sojiwan, Candi Pawon, Candi Kalasan.
a.      Candi Borobudur
Candi Borobudur dikenal sebagai candi dengan sifat keagamaannya yaitu agama budha. Persepsi ini oleh Nugrahani dan Santiko (2012), dikatakan hanya didasarkan pada relief naratif yang terukir pada dinding candi dan bagian dalam pagar langkan, serta arca-arca  yang masih tertinggal. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa sebenarnya tidak ada sumber tertulis yang menyatakan tentang sifat keagamaan candi ini. Pada dasarnya para ahli berpendapat bahwa Candi Borobudur termasuk dalam candi budha aliran Mahayana. Hal ini dikuatkan berdasarkan disertasi Nurhadi Magetsari mengenai Tathagata, yaitu bahwa uraian pembagian tingkatan candi Borobudur menjadi tiga yaitu kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu menurut Stutterheim, N.J. Krom, dan lainnya, tercantum dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan, yang merupakan kitab agama budha aliran mahayana. Bukti-bukti lain yang menegaskan bahwa candi borobudur beraliran budha mahayana yaitu adanya arca-arca yang terdapat di candi tersebut seperti arca kelima dhyani budha. Kelima dhyani budha tersebut juag disebutkan dalam kita Sang Hyang Kamahayanikan seperti yang dikutip oleh Magetsari dalam disertasinya pada bagian tiga kaya.

b.     Candi Mendut      
Candi Mendut dan candi Pawon memiliki aliran budha yang sama dengan candi Borobudur. Hal ini tampak pada arca budha yang terdapat pada candi mendut. Arca budha yang terletak pada candi mendut termasuk dalam tingkat bodhisattwa. Artinya arca tersebut mmerupakan budha dalam wujud manusianya. Hal ini dibuktikan dari sisi ikonografinya, yaitu adanya arca avalokitesvawa yang dalam agama budha mahayana termasuk dalam tingkat bodhisattva. Arca ini merupakan arca avalokitesvara dari adanya dhyani budha amitabha / amitabhabimba di makutanya. 

c.      Candi Pawon
Menurut Casparis, Candi Pawon merupakan tempat penimpanan abu jenazah Raja Indra ( 782 - 812 M ), ayah Raja Samarrattungga dari Dinasti Syailendra. Nama "Pawon" sendiri, menurut sebagian orang, berasal dari kata pawuan yang berarti tempat menyimpan awu (abu). Dalam ruangan di tubuh Candi Pawon, diperkirakan semula terdapat Arca Bodhhisatwa, sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Indra yang dianggap telah mencapai tataran Bodhisattva, maka dalam candi ditempatkan arca Bodhisatwva. Dalam Prasasti Karang Tengah disebutkan bahwa arca tersebut mengeluarkan wajra (sinar). Pernyataan tersebut menimbulkan dugaan bahwa arca Bodhisattwa tersebut dibuat dari perunggu. Berdasarkan pernyataan dalam prassasti itulah, disimpulkan bahwa candi Pawon merupakan candi budha aliran Mahayana.

d.     Candi Sojiwan
Bukti adanya aliran Mahayana pada candi ini yaitu terdapat relung dan singgasana yang aslinya mungkin menyimpan arca Buddha atau Boddhisatwa yang kini sudah hilang. satu arca Buddha yang telah rusak dan hilang kepalanya ditemukan di candi ini dan kini tersimpan di pos penjagaan. Atap candi bersusun tiga yang bertingkat-tingkat. Pada tingkatan-tingkatan ini terdapat jajaran stupa-stupa. Bagian puncak candi dimahkotai stupa yang besar. Pada kaki candi disajikan relief adegan yang dipetik dari cerita fabel Pancatantra atau Jataka yang berada di candi Sojiwan. Jumlah relief sekitar 12 adegan. Cerita relief dibaca menuju ke selatan (mapradakṣiṇa). Sayang sekali kondisi relief-relief ini banyak yang sudah aus dan memprihatinkan.

e.      Candi Kalasan
Bukti bahwa candi Kalasan merupakan candi budha aliran mahayana terdapat pada relief arca bodhisattwa yang terdapat di relung-relung bagian badan candi. Selain di bagian badan candi, arca bodhisatwa juga ada di bagian atap candi pada tingkat pertama yang sekarang tinggal tiga buah. Pada tingkat kedua terdapat arca dhyani budha yang diapit bodhisattwa. Pada tingkat ketiga terdapat relung-relung yang berisi arca dhyani budha yang sekarnag tinggal satu buah. (Setyastuti dkk, 2009)

f.      Candi Sari
Berdasarkan arca dan relief dewa yang terpahat dapat diketahui bahwa latar belakang keagamaan Candi Sari adalah budha. Sedangkan dari segi aliran yang dianut yaitu aliran Mahayana berdasarkan arca-arca bodhisattwa yang terpahat di bagian dinding utara dan selatan bilik bawah.

g.     Candi Gampingan
Kompleks candi Gampingan terletak di dusun Gampingan, Piyungan, Bantul. Candi ini termasuk dalam candi budha aliran Mahayana dengan sifat tantra yang sangat nampak. Aliran mahayana candi Gampingan dibuktikan dari ditemukannya tiga buah arca dhyani budha Vairocana dari perunggu, arca Jambhala, dan arca Candralokeswara. Berdasarkan temuan arcaini diperkirakan merupakan candi budha yang menempatkan dewa Jambhala sebagai dewa utama.

h.     Candi Ngawen
Candi Ngawen ini berlatar belakang agama Budha. Hal ini dibuktikan dengan temuan arca Dhyani budda Ratnasambhawa di candi II dan arca Dhyani Buddha amithaba di Candi IV.

i.       Candi Sewu
Candi Sewu disusun membentuk mandala wajradhatu, perwujudan alam semesta dalam kosmologi Buddha Mahayana. Selain itu terdapat arca-arca dhyani budha di relung-relung bagian tubuh candi.

SUMBER REFERENSI

___________.Candi Pawon, diambil dari http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_tengah-candi_pawon pada 11 Januari 2016.
Firdaus.23 Mei 2013.Aliran Mahayana dan Hinayana.diambil 9 Januari 2016 dari http://fiirdaus.blogspot.co.id/2012/05/aliran-mahayana-dan-hinayana.html.
Indrawati,Wiwik.2011.Pencerahan Dalam Budhisme (Perspektif Hinayana dan Mahayana).Skripsi.Surabaya: Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel.
Mochtar, Agni Sesaria.2009.Vihara Pada Masa Jawa Kuno Abad VIII-XI M (Tinjauan Data Prasasti).Skripsi.Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Pinardi, Slamet.2005.Bahan Ajar Mata Kuliah Perkembangan Hindu Budha.Yogyakarta: tidak untuk diterbitkan.
Rofiqoh, Ifa Nur.2013.Aliran Hinayana dan Mahayana.diambil 9 Januari 2016 dari  http://study-budhisme.blogspot.co.id/2013/05/aliran-hinayana-dan-mahayana.html
Romli, Inajati Adrisijanti, Dr. & Anggraeni, Dra,M.A. 2009.Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta.Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.
Soekmono, R.P.1973.Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II.Jakarta: Kanisius.
http://candi.perpusnas.go.id/temples
Bahan Ajar Mata Kuliah Ikonografi
Bahan Ajar Mata Kuliah Arkeologi Hindu Budha
.








Komentar

Postingan Populer