SIWA-BUDHA DAN AGAMA SIWA
SIWA-BUDHA
Siwa-budha merupakan perkembangan dari agama budha aliran
tantrayana yang mengalami percampuran atau sinkretisme dengan agama siwa.
Sinkretisme merupakan integrasi agama siwa dan budha. Pengertian sinkretisme
sendiri ada bermacam-macam, bukan hanya terbatas pada percampuran. Hal ini
diungkapkan oleh Dwi Pradnyawan dalam ceramahnya dengan mengutip pendapat
beberapa ahli, antara lain:
1. Menurut
Kern, Krom, Zoetmulder sinkretisme sama dengan istilah vermenging yang artinya percampuran atau blending. Jadi terjadi percampuran ajaran di mana saling
mempengaruhi satu sama lain.
2. Menurut
T.H. Pegeaud dan J. Ensink sinkretisme disamakan dengan paralelisme,
masing-masing berjalan dengan dogma dan konsep tersendiri.
3. Menurut
J. Gonda, Casparis, dan H. Soebadio, sinkretisme disamakan dengan koalisi.
Maksudnya, terdapat jalinan antar penganut keagamaan di mana masing-masing
agama terdapat keleluasaan dalam melaksanakan ritual atau tatacara keagamaan
dengan tujuan akhir yang sama.
Sinkretisme Siva-Buddha
di Indonesia adalah suatu gejala keagamaan yang sangat komplek. Studi
tentang Siva-Buddha untuk pertama kali
dilakukan dalam lapangan arkeologi pada tahun 1823(Crawfurds,1985:VOL I-III). Kemudian
pada tahun 1888, studi tentang Siva-Buddha
ini boleh dikatakan beralih dari lapangan arkeologi ke lapangan sastra,
setelah Kern mempublikasikan artikelnya: “Regarding Merging of Śaivism and Bud-
dhism in Java in Connection with the Ancient Javanese Poem Sutasoma”. Suatu hal
yang mengejutkan bahwa data-data arkeologi ternyata gayut de- ngan teks-teks
sastra. Dalam lapangan sastra, studi Siva-Buddha lebih banyak menggunakan sumber-sumber atau teks
sastra Jawa Kuna. Dalam lapangan studi ini tekanan khusus dilakukan untuk
mengamati percampuran Siva-Buddha
melalui pendekatan teologi, kebahasaan dan juga budaya lokal. (
Widnya,2008)
Siwa-Buddha merupakan cerminan karakter dalam diri
manusia yaitu feminim dan maskulin. Lebih lanjut kemudian, Siwa-Buddha dipahami
sebagai evolusi sinkritisme antara dua ajaran besar yang pernah berkembang di
Nusantara. Siwa-Buddha bukan agama barat atau agama timur, melainkan agama
tengah yang melebur bersama tradisi agama Hindu di Bali. (Dwijayanthi, 2013)
Siwa-budha pertama kali muncul di India bersamaan dengan
berkembangnya ajaran tantra di Dinasti Pala. Menurut Widnya (2008) kemunculan
siwa-budha diawali dengan berkembangnya ajaran tantra di Indonesia.
Perkembangan tantra ini kemudian mendorong terjadinya fusi antara sivaisme dan
buddhisme. Di Indonesia dikenal tiga jenis tantra, yaitu: Bhairava Heruka di Padang
Lawas, Sumatra Barat; Bhairava Kālācakra yang dipraktekkan oleh raja Krtanegara
dari Singasari dan Ādityavarman dari Sumatra yang se-zaman dengan Gajahmada di
Majapahit; dan Bhairava Bhima di Bali (Widnya, 2008). Lebih jauh, Widnya (2008)
juga mengutip pendapat Moens yang menjelaskan tentang jenis tantra yang kedua
yaitu Bhairava Kālācakra.
“Kālacakratantra
meme- gang peranan penting dalam unifikasi Sivaisme dan Buddhisme, karena dalam
tantra ini, Śiva and Buddha, diunifikasikan menjadi Śivabuddha. Kon sep
Ardhanarisvarī memegang peranan yang sangat penting dalam Kālāca- kratantra.
Kālācakratantra mencoba menjelaskan penciptaan dan kekuatan alam dengan
penyatuan Dewi Kali yang mengerikan, tidak hanya dengan Dhyāni Buddha,
melainkan juga dengan Ādi Buddha Sendiri. Kālācakra- tantra mempunyai berbagai
nama dalam sekta tantra yang lain, seperti He- wajra, Kālācakra, Acala, Cakra
Sambara, Vajrabairava, Yamari, Candama harosana dan berbagai bentuk Heruka
(Moens, 1986:9).”
Lebih jauh, Widnya juga memaparkan bahwa penyatuan
sivaisme dan budhisme melalui
Kālacakratantra didorong oleh sikap perlawanan terhadap pengaruh kekuasaan
islam. Hal ini seperti yang ia ungkapkan dalam tulisannya berjudul “Pemujaan Siva-Buddha Dalam Masyarakat Hindu
di Bali” yang didukung dengan pendapat Biswanath Banerjee.
“Alasan atas
kuatnya penyatuan tersebut juga dapat ditelusuri melalui fakta sejarah bahwa
awal mula kehadiran Kālācakratantra di antara pemeluk Hindu dan Buddha adalah
untuk melakukan perlawanan terhadap pengaruh kekuasaan Islam. Biswanath
Banerjee (1999:265) mengatakan, penyatuan dewa-dewa dan dewi-dewi Hindu mencapai
puncaknya pada waktu berkembangnya sistem Kālācakra. Faktor utama yang mendorong
berkembangnya kecendrungan berkompromi antara Buddhisme dengan berbagai sekta
dalam agama Hindu, dapat dilacak keberadaaannya dengan kehadiran agama dan kebudayaan
Islam. Ini dapat dipelajari melalui teks-teks Kālacakra bahwa Buddhisme sedang
mengalami masalah sosial atas sergapan infiltrasi kebudayaan Smitic dan untuk
melakukan perlawanan atas berkembangnya pengaruh kebudayaan asing terse- but,
mereka melakukan kerjasama dengan umat Hindu. Maksud memperke- nalkan sistem Kālacakra
adalah untuk melindungi umat Buddha dan Hindu dari konversi (pengalihan agama)
ke agama Islam. Dengan maksud untuk menghentikan kerusakan akibat kebudayaan
asing, para pemimpin agama Buddha melakukan inter-marriage dan inter-dining
antara keluarga Buddha dan Hindu, dan akhirnya mereka tertarik untuk berlindung
dibawah panji satu Tuhan Kālacakra, yang diterima di antara mereka sebagai
Tuhan Yang Maha Esa.”
Pendapat lain mengungkapkan tentang siwa-budha bukan
melalui pendekatan teologi melainkan persamaan filosofi. Ida Bagus Made Mantra
mengatakan bahwa persamaan fundamental dalam teori manifestasi antara
Śiva-isme, khususnya Śiva Siddhānta, dan Buddha Mahāyāna bertanggung jawab atas
berkembangnya mazab Siva-Buddha (Mantra, 1955:255). Penyatuan sivaisme dan
budhisme ini juga dilatarbelakangi oleh persamaan kosmologi yang ada seperti
yang diungkapkan Widnya (2008) berikut ini.
“Dalam
perbandingan sistem cosmology antara filsafat Buddha Ma- hāyāna dan
Śaiva-Siddhānta, Ida Bagus Made Mantra mengatakan, bahwa keduanya mempunyai
basis yang sama. Ini terlihat dari tritunggal Śaiva- Siddhānta seperti
Paramaśiva, Sadāśiva dan Sadāśiva-Mahěsvara dengan bentuknya dalam Niskalā dan
Niskalā-Śakalā, yang parallel dengan tritung- gal Buddha, yakni: Buddha
Vajrasattva dan Avalokitěsvara dengan bentuk mereka berturut-turut sebagai
Dharmakāya, Sambogakāya dan Nirmāna- kāya (Mantra, 1955:266-267).”
Serta melalui konsep
sakti yang ada baik dalam agama budha maupun siwa.
“Konsep sakti
dalam agama Buddha juga parallel dengan sakti dalam Śivisme. Konsep Yub-yam
dalam Buddha diwakili oleh Śiva dan saktiNya, Parvati. Secara teknis, bentuk
ini disebut Ardhanāriśvara-mūrti (Rao, 1916: 160). Di sini, Śiva Sendiri adalah
murni dan sakti-Nya aktif, suatu kekuatan dinamis untuk membebaskan roh-roh
yang terikat dari karma mereka. Uraian di atas, menunjukkan dengan jelas bahwa
kesamaan dalam ajaran tantra, telah menyatukan kedua agama tersebut, Hindu (siwaisme)
dan Bu- ddhisme, menjadi satu mazab keagamaan yang tunggal, sivabuddha. Dalam
teks sastra Jawa Kuna kenyataan itu ber-puncak dalam sebutan “ya Buddha ya
Śiva”, yang artinya tidak ada perbe-daan apakah anda seorang penganut siva atau
Buddha.”
Terkait siwa-budha ini, Rassers (1926) berpendapat bahwa
siwa-budha terbentu karena faktor kebudayaan jawa asli yang memainkan peran
penting, bukan dari India di mana pertautan ini lebih dulu terjadi. Pada masa
Jawa Timmur, agama siwa dan budha hanya merupakan naspek daari satu agama
tunggal yang berpangkal pada kepercayaan Jawa purba dengan klasifikasi
kosmosnya atas dua bagian.
Bukti keberadaan siwa-budha ini nampak terutama pada
candi-candi masa jawa timur, salah satunya yaitu Candi Jawi. Oleh prapanca
dalam Nagarakertagama bab 56 ayat 1 dan 2 melukiskan monumen ini dengan sangat indah.
Bagian bawah candi, yaitu bagian dasar dan badan candi, adalah Śivaistis dan
bagian atas atau atap, adalah Buddhistis, sebab Di dalam kamar terdapat arca
Śiva dan di atasnya di langit-langit terdapat sebuah arca Aksobhya. Inilah
alasannya mengapa Candi Jawi sangat tinggi dan oleh karena itu disebut sebuah
Kirtti (Bosch, 1925: 31).[1]
Candi Jago yang merupakan tinggalan Kerajaan Majapahit
juga beragama siwa-budha melalui reliefnya. Relief di Candi Jago seperti halnya
relief candi-candi masa klasik muda lainnya yaitu digambarkan secara simbolis
dalam bentuk wayang kulit. Seperti disebutkan dalam sumber tertulis adanya dua
sifat agama di candi jago, maka di dalam penggambaranya relief juga dapat
dibedakan :
1. Relief
yang menunjukkan sifat Buddhis :
a.
relief cerita tantri (pancatantra)
b.
relief cerita Kunjakarna
2. 2.
Relief cerita yang ersifat Hinduistis:
a.
relief ceita partayajna dan Arjunawiwaha
b.
relief cerita tentang Kresna
Candi Panataran merupakan kompleks terbesar candi Jawa
timur. Menurutbeberapa angka tahun yang terdpaat dalam candi Panataran,
sejarahnya berlangsung dari tahun 1197
hingga 1454. Pada candi induknya terdapat relief cerita Ramayana dan Krsnayana. Dalam kompleks
candi ini juga terdapat relief tantri, setyawan dan bubuksah-gagangaking.
Selain
bukti berupa candi, keberadaan siwa-budha dibuktikan dengan penyebutannya pada
kitab Arjunawiwaha dan Sutasoma karangan Mpu Tantular, antara lain sebagai
berikut:
Ar. 27,2:
Demikianlah halnya , tuan tidak ada
perbedaan antara budha dengan siwa raja para dewa. Keduanya sama; merekaberdua
adalah pelindung dharma baik di dharma sima maupun di dharma lepas, tak ada
duanya.”
Sut. 139, 4d-5d:
“Dewa budha tidak berbeda dengan
dewa siwa. Mahadewa di antara dewa-dewa. Keduanya dikatakan mengandung banyak
unsur; Budha yang mulia adlah kesemestaan. Bagaimanakah mereka yang boleh
dikatakn tak terpisahkan dapat begitu saja dipisahkan menjadi dua? Jiwa Jina
dan Jiwa Siwa adalah satu; dalam hukum tidak terdapat dualisme”
AGAMA SIWA
Siwa merupakan salah satu dewa yang dipuja dalam agama
Hindu selain Wisnu dan Brahma. Ketiganya dikenal sebagai trimurti, di mana
brahma berperan sebagai pencipta, wisnu berperan sebagai pemelihara dan siwa
beperan sebagai dewa perusak. Di antara ketiag dewa tersebut, hanya wisnu dan
siwa yang mendapat pemujaan luar biasa
(Soekmono, 1973:28). Lebih lanjut, dijelaskan pula oleh Soekmono bahwa
pada umumnya dapat dikatakan, bahwa dalam trimurti itu siwalah yang dianggap
sebagai dewa tertinggi atau Mahadewa atau Maheswara. Pada masa Jawa Kuno, agama
hindu yang dianut oleh masyarakat saat itu adalah agama hindu Siwa. Kepopuleran
agama siwa ini juga ditekankan oleh Royo (2003) yaitu sebagai berikut.
“Siwa worship
seems to have enjoyed popularity in Indonesia over a period of more than seven
centuries. The existence of locally fashioned images associ- ated with temple
sites and also of early inscriptions referring to lingga installation and the
existence of a number of locally composed texts in Old Javanese, of various
dates, from about the tenth century, dealing with the worship of Siwa, can be
taken as evidence that a cult identified as Siwa worship by its practitio- ners
lived on for a number of centuries.”
Sebagai dewa waktu atau Mahakala siwa sangat berkuasa, oleh karena waktulah
yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan dan membinasakan. Oleh karena itu,
maka pemujaan terhadap siwa selalu disertai permohonan akan kemurahannya, dan
rasa takut tidak dapat dihindarkan. Selain sebagai Mahadewa, Maheswara, dan
Mahakala, siwa juga dipuja sebagai Mahaguru dan Mahayogi.
Keberadaan
agama hindu sendiri berdasarkan berita Cina yang mengtakan bahwa pada tahun 414
M seorang pendeta Budha bernama Fa Shienpulang ari Srivijaya ke Cina. Dia
mengatakan bahwa pada waktu itu sudah banyak sekali penduduk yang beragama
hindu dan banyak sekali yang beragama kotor, yaitu menyembah api sedang yang
beragama budha masih sedikit (Goeneveldt, 1879:60). Oleh Maulana (1992) penyebutan
agama kotor ini menimbulkan beberapa pendapat bahwa agama kotor yang dimaksud
adalah Siwa Pasupata.
Perkembangan agama siwa
pada masa jawa kuno sendiri dapat ditelisik melalui data prasasti yang ada. Adanya
agama siwa ini pada awlanya diketahui melalui penemuan prasati yang termasuk
masa Jawa Tengah Kuno yaitu prasasti Sojomerto, yang diduga berasal dari abad
ke tujuh masehi. Prasasti ini menggunakan bahasa melayu kuno dengan huruf
pallawa. Prasasti ini memuat nama Dapunta Sailendra. Dalam epos dan beberapa
kitab purana, siva disebut juga Girisa yang mempunyai arti sama dengan
Sailendra. Dari arti kata itulah timbul dugaan bahwa Sailendra tersebut adalah
pemeluk agama hindu aliran siwa atau kemudian dikenal dengan nama agama siwa.
(Maulana 1992:164)
Bukti lain mengenai adanya agama siwa pada masa
jawa kuno ini terdapat pada prasasti canggal. Dalam disertasinya Maulana (1992)
memaparkan bahwa prasasti ini ditemukan di dua tempat, di mana bagian terbesar
ditemukan di Desa Canggal, di bawah sebuah bukit, dan bagian lainnya ditemukan
di halaman percandian gunung wukir, Salam, Magelang. (Sumadio 1984:99) Prasasti
Canggal berbahasa sansekerta dengan huruf pallawa dan berangka tahun 654 saka
atau 732 Masehi. Prasasti ini oleh Maulana (1992) disebutkan memuat pendirian
sebuah linga di bukit Sthiranga di Kunjarakunjadesa dan berisi pujian yang
ditujukan pada dewa siwa sebanyak tiga bait, sedang untuk dewa wisnu dan dewa
brahma, masing-masing satu bait. (Poerbatjaraka 1952:44)
Setelah itu disusul
tiga buah prasasti dari Ratu Baka yang disebut dengan prasasti Ratu Baka a, b,
dan c, dua diantaranya berhasil diketahui angka tahunnya yaitu 778 saka atau
856 Masehi, sedangkan yang satu lagi tidak berhasil diketahui. Keterangan
mengani isi prasasti Ratu Baka menurut Maulana yaitu mengenai pendirian tiga
buah linga, yaitu Krttivasolinga dan Tryambakalinga yang didirikan oleh Sri
Kumbaja, serta yang ketiga yaitu Haralinga didirikan oleh Kalasodbhava. Ketiga
jenis lingatersebut menuru Maulana (1992) merupakan bentuk rudra siva.
Berdasarkan isinya tersebut yang hanya menceritakan tentang siwa, dan letaknya
di Candi Ratu Baka, maka dapat disimpulkan bahwa candi tersebut juga beraliran
siwa.
Indikasi bahwa agama
hindu aliran siwalah yang dianut melalui prasati oleh Maulana (1992) dijelaskan
dapat dilihat pada bagian awal dan atau akhir prasasti. Seruan terhadap dewa di
awal prasasti ini menunjukkan tarafnya yang paling tinggi, sehingga bisa
dijadikan acuan apakah suatu situs tersebut benar beraliran siwa, tanpa
mengesampingkan bukti berupa artefaknya. Berdasarkan adanya seruan di awal
prasasti, maka prasati tertua yang memuatnya adalah prasati Dieng III yang
berasal dari sekitar abad kedelapan masehi, sejaman dengan prasasti Canggal.
Selain dalam bentuk seruan jenis alirannya juga dapat dilihat dari uraian
panjangnya mengenai hakekat dan kemampuannya seperti yang terdapat pada
prasasti Sugih Manek dan Sanuran.
Bukti-bukti adanya perkembangan
agama siwa antara lain ditemukan di candi Prambanan, Candi Ijo, Candi
Sambisari, Candi Kedulan, Candi Losari, Candi Gunung Wukir, Candi Klero, Candi
Merak, Candi Gedongsanga, Candi Ngempon, Candi Asu Sengi, Candi Pringapus, dan
Candi Abang. Temuan-temuan yang mengindikasikan perkembangan agama siwa
tersebut pada umumnya berupa lingga dan atau yoni,atau keluarga siwa lainnya
seperti durga, agastya, ganesha, dan nandi.
Agama siwa ini yang pada awalnya
murni hanya bagian dari agama hindu kemudian mengalami percampuran atau
sinkretisme. Bukti-bukti adanya sinkretisme ini terutama banyak ditemukan pada
candi-candi di jawa Timur terutama candi-candi masa Singasari dan Majapahit.
Perkembangan agama siwa sendiri mulai mengalami kemunduran setelah runtuhnya
kerajaan Majapahit. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya lagi
candi-candi hindu siwa di jawa kuno pada saat itu setelah islam menguasai jawa.
Agama hindu ini kemudian terpojokkan hingga akhirnya kini lebih berkembang di
Pulau Bali.
SUMBER RUJUKAN
Dwijayanthi, Ni Made Ari.2013.Wacana Kalepasan Dalam Kakawin Panca Dharma.Tesis.
Bali: Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
Kusen, Drs, Atmosudiro, Sumijati, Prof.Dr,
& Adrisijanti, Inajati, Dr.1993.Agama
dan Kepercayaan Masyarakat Majapahit dalam 700 Tahun Majapahit (1293 –
1993), Suatu Bunga Rampai hlm. 89 – 115.Jawa Timur: Dinas Pariwisata Daerah
Provinsi Daerah Tingkat I.
Maulana, Ratnaesih.1992.Siwa dalam Berbagai Wujud: Suatu Analisis
Ikonografi di Jawa Masa Hindu-Budha.Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia.
Royo, Alessandra Lopez Y.2003.Siwa in Java: the Majestic Great God and the
Teacher dalam Research papers from the School of Arts, England: Roehampton
University.
Soekmono, R, Dr.1973.Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid
2.Yogyakarta: Kanisius.
Widnya, I Ketut.2008.Pemujaan Siva-Buddha Dalam Masyarakat Hindu
di Bali, dalam Journal of Religious Culture No. 107.Frankrurt: Hrsg. von
Edmund Weber.
Bahan ajar mata kuliah
Perkembangan Hindu Budha
Komentar
Posting Komentar