KONSERVASI ARKEOLOGI
Pendahuluan
Sejak
awal keberadaannya, manusia terus meninggalkan bukti mengenai eksistensinya di
bumi baik yang berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible). Bukti tangible (berwujud)
ini kemudian ada yang masih dapat ditemui hingga saat ini. Bukti tersebut tidak
hanya sebagai wujud eksistensi seseorang saja melainkan juga wujud eksistensi
suatu kelompok, sehingga dapat dikatakan sebagai hasil budaya suatu kelompok
masyarakat. Setiap hasil budaya suatu kelompok masyarakat memiliki keunikannya
masing-masing, mengingat setiap kebudayaan tidak pernah benar-benar sama antara
satu wilayah dengan wilayah lain. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila
hasil budaya ini kemudian dilindungi dan dilestarikan dalam bentuk cagar budaya.
Berdasarkan Undang-undang mengenai Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, dinyatakan
bahwa:
Cagar budaya merupakan
kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia
yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga
perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan
pengertian mengenai cagar budaya tercantum dalam Undang-undang mengenai CB
Nomor 11 Tahun 2010, yaitu sebagai berikut.
Cagar Budaya adalah
warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di
darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan.
Oleh
karena memiliki nilai penting, perlu dilakukan upaya pelestarian terhadap cagar
budaya. Upaya pelestarian tersebut meliputi tiga hal yaitu upaya perlindungan,
upaya pemeliharaan, dan dokumen.[1] Upaya pemeliharaan dijelaskan sebagai suatu
upaya pelestarian cagar budaya dari kerusakan yang disebabkan oleh manusia dan
alam. Upaya pemeliharaan ini dilakukan melalui kegiatan konservasi dan
pemugaran.
Konservasi
Pengertian konservasi
1. Konservasi merupakan kegiatan
pemeliharaan cagar budaya dari kemusnahan dengan cara menghambat proses
pelapukan dan kerusakan benda sehingga umurnya dapat diperpanjang dengan cara
kimiawi dan non kimiawi[2].
2. Konservasi ialah semua proses
pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk
pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi,
restorasi, rekonstruksi, konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini
merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut (UNESCO.P. 36/2005).
3. Konservasi adalah sebuah proses yang
bertujuan memperpanjang umur warisan budaya bersejarah, dengan cara memlihara
dan melindungi keotentikan dan maknanya dari gangguan dan kerusakan, agar dapat
dipergunakan pada saat sekarang maupun masa yang akan datang, baik dengan
menghidupkan kembali fungsi lama atau dengan memperkenalkan fungsi baru yang
dibutuhkan.[3]
Berdasarkan
beberapa pengertian mengenai konservasi di atas, dapat disimpulkan bahwa
konservasi merupakan suatu upaya atau kegiatan pemeliharaan cagar budaya yang
bertujuan untuk memperpanjang umur warisan budaya bersejarah atau terhindar
dari kemusnahan dengan cara tradisional maupunmodern agar dapat dipergunakan
pada saat sekarang maupun masa yang akan datang, baik dengan menghidupkan
kembali fungsi lama atau dengan memperkenalkan fungsi baru yang dibutuhkan.
Menurut
UNESCO, terdapat lima bentuk kegiatan konservasi, antara lain sebagai berikut:
1. Restorasi ialah kegiatan pemugaran
untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke
bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan
struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan
terpenuhi. (UNESCO.P.36/2005).
2. Preservasi ialah bagian dari perawatan
dan pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari
bangunan dan lingkungan cagar budaya agar kelayakan fungsinya terjaga baik
(UNESCO.P. 36/2005).3. Konservasi ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut (UNESCO.P. 36/2005).
4. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (UNESCO.P. 36/2005).
5. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya asset - aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. (UNESCO.P.36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan).
Tujuan dan prinsip konservasi
Konservasi
dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan signifikansi budaya (berupa nilai
- nilai estetika, kesejarahan, keilmuan atau sosial dari masa lampau) dari
tempat dan harus mencakup perlindungan, pemeliharaan dan masa depannya. Tujuan
konservasi ini berkaitan dengan sifat cagar budaya yang terbatas, tidak
terbarui, mudah rusak, mudah mengalami proses pelapukan, dan tidak lengkap. Dengan
kata lain, konservasi bertujuan untuk melestarikan tidak hanya sekedar
mempertahankan bentuk, akan tetapi juga nilai-nilai penting yang terkandung di
dalamnya. Oleh karena itu, dalam melakukan konservasi, perlu diperhatikan
beberapa hal berikut ini antara lain sebagai berikut:
1. Universal
velue
Universal velue berkaitan dengan gagasan atau ide-ide
konseptual yang dimiliki oleh suatu cagar budaya (nilai penting). Dalam
presentasinya Marsis Sutopo memaparkan bahwa dalam konservasi suatu cagar
budaya, bagian asli benda yang mengalami pelapukan dan bernilai tinggi sejauh
mungkin dipertahankan, di mana penggantian dengan bahan baru hanya dilakukan apabila memang secara teknis sudah
tidak dapat berfungsi lagi dan upaya konservasi tidak mungkin dilakukan.
2. Authenticity
Authenticity atau derajat keaslian berkaitan
dengan upaya mempertahankan keaslian suatu cagar budaya dengan meminimalisir
terjadinya perubahan. Suatu kegiatan konservasi harus memperhatikan keaslian
cagar budaya. Keaslian ini menurut Ismijono, yang dikutip oleh Adrisijanti
(2015) terdiri dari keaslian bentuk, bahan, teknik pengerjaan, dan tata letak
bangunan. Untuk menjaga keasliannya, bukan berarti sebuah candi yang ditemukan
runtuh dibangun seperti saat ia pertama kali didirikan. Keaslian disini lebih
kepada keaslian pada saat ditemukan berdasarkan catatan pemugaran yang ada.
3. Integrity
Integrity berkaitan dengan keutuhan dan
kelengkapannya. Dalam Venice Charter
integritu terdiri atas tujuh aspek yaitu lokasi, desain, setting, materi, karya cipta, rasa, dan asosiasi. Integrity dapat
digunakan sebagai alat untuk menilai elemen-elemen kompleksitas dari suatu situs/tinggalan
yang bersifat kompleks termasuk hubungan antar elemen (Putranto, 2015).
4. Modern
Science and Technology
Modern Science and
Technology berkaitan
dengan pengembangan metode dan teknik konservasi. Dengan semakin pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin banyak pula metode dan
teknik yang dapat digunakan untuk melakukan konservasi cagar budaya. Dalam
penerapannya, metode dan teknik yang digunakan untuk mengonservasi suatu cagar
budaya harus bersifat reversible
(tidak permanen), sehingga apabila di kemudian hari sudah tidak sesuai dengan
kondisi cagar budaya maupun lingkungan sekitarnya dapat di kembalikan. Teknik
yang digunakan harus bersifat efektif, efisien, aman , tahan lama, dan dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah (Sutopo, 2015).
Pemugaran
Pemugaran
merupakan bagian dari konservasi. Dalam abstraksinya, Putri (2004) memaparkan
bawa pemugaran merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk
mengembalikan keaslian bentuk benda cagar budaya dan memperkuat strukturnya bila
diperlukan, yang dapat dipertanggung-jawabkan dari segi arkeologis, historis,
dan teknis. Pemugaran dilakukan dengan memperhatikan keaslian bentuk, bahan,
pengerjaan, dan tata letak. Pemugaran di Indonesia telah berlangsung sejak masa
penjajahan Belanda, dan tercatat lebih dari 400 benda cagar budaya berupa
bangunan yang telah dipugar. Beragamnya pelaksana pemugaran dan beragamnya
bentuk benda cagar budaya yang dipugar mempengaruhi hsil akhir pemugaran. Hal
ini disebabkan belum dimilikinya format baku tentang metode dan teknik
pemugaran benda cagar budaya. Penelitian ini ditujukan untuk mencatat tentang
metode dan teknik pemugaran benda cagar budaya yang telah berlangsung di
Indonesia selama ini. (Putri, 2004)
Sebelum melakukan pemugaran suatu
cagar budaya, hendaknya dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat-sifat bahan
dasar penyusun suatu cagar budaya dan penyebab kerusakan pada cagar budaya
tersebut, kemudian baru melaksanakan perbaikan terkait dengan hasil analisis
data penelitian awal. Hal ini bertujuan agar metode dan teknik yang diterapkan
tetap sasaran dan memberikan dampak positif terhadap cagar budaya tersebut.
Karena pemugaran bersifat merusak, dalam pelaksanaannya perlu dilakukan dengan
hati-hati dan didokumentasikan baik berupa tulisan maupun gambar, agar terekam
dengan baik.
Konservasi Cagar Budaya
Dalam menerapkan konservasi pada
suatu cagar budaya, seperti halnya pada pemugaran perlu diperhatikan bahan
dasar penyusun suatu cagar budaya. Secara umum,bahan dasar penyusun cagar
budaya dibagi menjadi dua yaitu,
1. Bahan organik
Bahan organik adalah bahan yang
berasal dari jasad hidup yang di dalamnya memiliki komposisi hidrokarbon (C-H),
yang dapat mengalami pembusukan secara biologi dan mudah terbakar. (Sutopo,
2015)
Contohnya yaitu kayu, tulang binatang,
tanduk, gading, dan lain sebagainya
2. Bahan Non Organik
Bahan non organik adalah bahan yang berasal dari mineral
atau unsur-unsur logam tertentu, seperti
misalnya batuan, logam, dan lain sebagainya (Sutopo, 2015)
Pemahaman
mengenai bahan dasar penyusun cagar budaya ini penting karena berkaitan dengan
metode dan teknik yang digunakan. Berbeda bahan dasar penyusunnya, berbeda pula
metode dan teknik yang digunakan serta jenis kerusakan yang terjadi.
Batu merupakan bahan yang umum
ditemukan hampir di seluruh situs-situs arkeologis terutama pada situs-situs
klasik. Dalam bukunya, Rapp (2009) memaparkan bahwa A rock is an aggregate of one or more specific minerals that occurs
commonly enough to be given a name (e.g., granite, sandstone). Rocks are often
referred to as “stone”, a word that has many meanings. Within the
archaeomineralogical context the usage should be restricted to “building stone”
and “gemstone”.
Candi
– candi di Indonesia pada umumnya memiliki bahan dasar penyusun dari batu
khususnya batu andesit. Batu andesit merupakan batuan beku luar, yang terbentuk
dari hasilpembekuan magma, dengan waktu pembekuan relatif cepat yang tersusun
atas kristal mineral berukuran < 1 mm dan berasosiasi dengan endapan materi
pyroclastic. Dibandingkan dengan kayu, batu merupakan bahan yang lebih awet dan
tahan lama. Akan tetapi akibat berbagai faktor baik faktor internal maupun
eksternal menyebabkan suatu cagar budaya rentan terhadap perubahan. Faktor
internal bisa berupa kualitas bahan, teknik, dan lokasi, sedangkan faktor
internal bisa berupa faktor manusia dan alam (iklim, tumbuhan, hewan).
Faktor
internal suatu cagar budaya yang menyebabkan kerusakan misalnya model susunan
pada batu candi yang terlalu rigid sehingga tidak memungkinkan pergerakan
batu-batu tersebut saat terjadi gempa sehingga rawan terhadap degradasi,
kualitas bahan yang kurang baik, dan lokasi yang rawan terhadap pergeseran
lempeng tektonik maupun aktivitas vulkanik. Faktor eksternal berupa pengaruh
air, kelembaban, suhu, paparan sinar matahari, asap kendaraan, jasad renik,
jamur, kerak, dan lain sebagainya dapat menyebabkan suatu cagar budaya juga rentan
terhadap degradasi. Perubahan atau degradasi tersebut dapat berupa kerusakan
dan pelapukan. Kerusakan adalah suatu
perubahan yang terjadi pada benda di mana
sifat-sifat alaminya masih tetap,
sedangkan pelapukan adalah suatu
perubahan yang terjadi pada benda di mana
sifat-sifat alami bahan telah mengalami perubahan baik secara fisik
(desintegrasi) maupun sifat-sifat
kimiawinya (dekomposisi).
Meskipun merupakan bahan dasar yang kuat dan tahan
lama, batu juga rentan terhadap perubahan seperti misalnya pergeseran lempeng
bumi dan pelapukan. Perubahan akibat pergeseran lempeng bumi dapat
mengakibatkan cagar budaya terutama candi mengalami kerusakan bahkan hingga
hancur. Begitu pula dengan pelapukan, dapat menyebabkan batu penyusun candi
mengalami aus yang apabila dibiarkan dapat merusak candi tersebut.
Dalam ilmu geografi terdapat empat faktor yang mempengaruhi terjadinya pelapukan batuan
yaitu
1. Keadaan struktur batuan
Berkaitan dengan sifat fisik (warna batuan, porositas, dll) dan sifat kimia (unsur-unsur kimia yang terkandung di dalamnya). Hal ini yang menyebabkan perbedaan daya tahan batuan terhadap pelapukan
2. Topografi
Berkaitan dengan letak batuan tersebut misalnya pada lereng yang curam, batuan akan lebih mudah terkikis dari pada batuan yang terletak pada lereng yang landai.
3. Cuaca dan Iklim
Berkaitan dengan perubahan temperatur pada pergantian antara siang dan malam, musim hujan dan musim kemarau.
4. Vegetasi
Berkaitan dengan jenis vegetasi yang tumbuh di sekitar lingkungan temoat cagar budaya tersebut berada.
1. Keadaan struktur batuan
Berkaitan dengan sifat fisik (warna batuan, porositas, dll) dan sifat kimia (unsur-unsur kimia yang terkandung di dalamnya). Hal ini yang menyebabkan perbedaan daya tahan batuan terhadap pelapukan
2. Topografi
Berkaitan dengan letak batuan tersebut misalnya pada lereng yang curam, batuan akan lebih mudah terkikis dari pada batuan yang terletak pada lereng yang landai.
3. Cuaca dan Iklim
Berkaitan dengan perubahan temperatur pada pergantian antara siang dan malam, musim hujan dan musim kemarau.
4. Vegetasi
Berkaitan dengan jenis vegetasi yang tumbuh di sekitar lingkungan temoat cagar budaya tersebut berada.
Dilihat dari prosesnya, terdapat beberapa jenis
pelapukan diantaranya pelapukan kimiawi, pelapukan suhu / thermal/fisis,
pelapukan Mekanis, dan pelapukan biologis.
1.
Pelapukan kimiawi/Khemis
Pelapukan kimawi yaitu pelapukan massa batuan yang
disertai dengan perubahan susunan kimiawi batuan yang lapuk tersebut. Dalam
presentasinya, Putranto memamparkan bahwa resistensi kimiawi merupakan hal yang
penting pada batuan. Pelapukan kimiawi dipengaruhi oleh proses penguraian air,
proses pengkaratan besi, dan gas-gas polutan. Akan tetapi berdasarkan
pemaparannya, batuan beku jauh lebih tahan terutama dengan paparan gas polutan
daripada lime stone maupun sandstone.
2.
Pelapukan Mekanis atau fisis
Secara geologi, pelapukan mekanis merupakan
peristiwa hancur dan lepasnya material batuan tanpa merubah struktur kimiawi
batuan tersebut. Pelapukan mekanis kaitannya dengan cagar budaya diakibatkan
oleh pengaruh suhu atau thermal dan abrasi (gesekan dan geser). Pelapukan
abrasi (gesekan) diakibatkan oleh gaya gesek yang bekerja antar batuan yang
menyebabkan batuan menjadi aus, pecah, retak, bergelombang, dan lain
sebagainya. Pelapukan thermal atau suhu merupakan pelapukan yang diakibatkan
perubahan suhu sehingga memicu terjadinya proses kimia yang menyebabkan
terjadinya kerusakan pada batuan. Akan tetapi hal ini bergantung pada porositas
batuan tersebut. Semakin tinggi porositasnya akan semakin mudah batuan tersebut
mengalami degradasi. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah porositas batuan,
semakin tinggi daya tahan batuan terhadap degradasi.
3.
Pelapukan Biologis
Pelapukan biologis merupakan pelapukan yang
disebabkan oleh jasad makroskopis (ganggang, lumut, kerak, tanaman perdu,
tanaman tingkat tinggi, dan serangga) dan jasad mikoskopis (fungi, actinomycetes, dan bacteria).
Pelapukan jenis ini bersifat kimiawi maupun mekanis
SUMBER RUJUKAN
Website
Balai Pelestarian Cagar
Budaya Mojokerto, 2015, http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbtrowulan/profil/upaya-pelestarian-cagar-budaya/.
library.binus.ac.id/eColls/.../Bab2/2013-2-00702-AR%20Bab2001.pdf
http://hikmat.web.id/biologi-klas-x/pengertian-lumut-kerak-lichenes/
Jurnal
Adrisijanti, Inajati, Abdulrahman
Hamdoun, dan Arya Ronald.2015.Pengaruh
Pemugaran Terhadap Nilai Arsitektur Candi Plaosan Lor.Dalam University
Research Colloquium 2015.
Buku
Putri, Roseri Rosdy.2004.Penerapan Konsep Keaslian Dalam Pemugaran
Benda Cagar Budaya di Indonesia (studi kasus: pemugaran Candi Induk Utama,
Candi Plaosan Lor, Jawa Tengah), Thesis, Program Studi Arkeologi, Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Rapp, George, Prof. Dr.2009.Archaeomineralogy. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg : Berlin.
Komentar
Posting Komentar