Arsitektur Rumah Penutur Bahasa Austronesia di Asia Tenggara
Rumah
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai tempat berlindung dari
cuaca, musuh, ataupun alam. Selain itu, rumah juga dianggap sebagai perwujudan
status sosial pemilik, tempat terjadinya interaksi sosial, serta wujud adaptasi
manusia terhadap alam tempat tinggalnya. Sebagai simbol status sosial
pemiliknya, rumah biasanya dibuat penuh dengan pola hias dan warna serta bentuk
dan konstruksi yang lebih rumit untuk orang-orang kaya atau bangsawan,
sedangkan rumah dengan bentuk dan konstruksi sederhana dan memiliki pola hias
yang jauh lebih sederhana untuk orang-orang biasa. Selain sebagai tempat
berkumpul keluarga rumah juga digunakan sebagai tempat berinteraksi dengan para
tetangga atau saudara jauh (dari luar daerah tempat tinggal), sehingga pada
rumah-rumah tertentu biasanya akan ada pembagian ruang antara ruang publik dan
ruang privat. Di atas segala fungsi di atas, bentuk dan konstruksi rumah pada
dasarnya merupakan hasil adaptasi manusia terhadap alam tempatnya tinggal.
Di
kalangan penutur bahasa Austronesia, terutama di Asia tenggara, rumah memiliki
fungsi pokok yang meliputi tempat berlindung, fungsi sosial, dan simbolis di
mana di dalamnya terdapat ide atau konsep yang melatarbelakangi pemilihan
bentuk dan ragam hiasnya. Ide atau konsep itulah yang memberikan makna simbolis
pada setiap bagian rumah. ide atau konsep ini pada umumnya berkaitan dengan
kepercayaan masyarakat setempat.
The house itself, and not just the objects and elements
within it, can also coonstitute a ritually ordered structure. As such, this
order can be conceived of a representation of cosmological order. In some
Austronesian societies, the house is regarded as the ancestral ‘embodiment’ of
the group it represents. As either representation or embodiment, the house mas
become a centre – a combination of theatre and temple – for the perfomance of
the ceremonies of social life. (Fox 1993:1-2)
Seperti
yang telah dipaparkan di atas, rumah tidak hanya digunakan sebagai ruang
privat, melainkan juga ruang publik. Dengan demikian pada setiap rumah para
penutur Austronesia tentunya akan ada pembagian ruang untuk privat dan publik
yang nantinya berpengaruh terhadap bentuk bangunan itu sendiri. Oelh karen a
itu, tulisan ini mencoba memaparkan bagaimana bentuk rumah penutur bahasa
Austronesia di Asia Tenggara.
Penutur
bahasa austronesia termasuk dalam ras mongoloid, yang oleh Bellwood digolongkan
ke dalam ras mongoloid selatan, dengan pengecualian beberapa kelompok bagian
timur seperti orang Tobelo dan Galela (Bellwood, 2000:106). Dalam
perkembangannya, mereka menampilkan bentuk fisik yang beraneka ragam yang
disebabkan antara lain oleh variasi interaksi biologis yang mengakibatkan
terjadinya percampuran gen, lingkungan
dan keadaan alam, serta kemampuan dalam beradaptasi (Simanjuntak 2011:2). Oleh
karena persebarannya yang luas terutama di willayah Asia Tenggara Kepulauan, mereka
tidak hanya memiliki kemampuan bertani seperti kehidupan awal mereka pada masa
bercocok tanam tahap lanjut, melainkan kemampuan dalam berlayar, baik pemahaman
mengenai ilmu astronomi maupun penguasaan teknologi pelayaran.
Kembali
ke pokok bahasan dalam tulisan ini, dengan kemampuannya yang demikian itu,
bagaimana bentuk rumah penutur Austronesia ini? Pertanyaan tersebut di jawab
oleh Blust yang didasarkan atas penggunaan bahasa terkait dengan rumah dan
isinya di wilayah Asia Tenggara. Kata-kata tersebut antara lain rumah/kediaman
keluarga (UBT)[1];
kasau, reng, atap daun-daunan, tiang rumah, rak penyimpanan di atas tungku,
tangga gelndong kayu yang ditakik, tungku, bangunan umum (BT). (Bellwood
2000:156)
Berdasarkan
terminologi-terminologi di atas, dapat ditarik kesimpulan awal bahwa bentuk
rumah penutur bahasa austronesia berupa rumah panggung dengan adanya
terminologi tangga yang disebutkan di atas, serta menggunakan bahan dasar kayu.
Tiang rumah tidak ditancapkan langsung ke dalam tanah melainkan ditumpangkan di
atas batu. Menurut Reid (2014), hal ini dikarenakan kebiasaan masyarakat
memindahkan rumah seutuhnya jika diperlukan. Lebih jauh ia juga menjelaskan
bahwa tinggi rumah sangat beragam, meskipun yang paling umum adalah satu hingga
tiga meter – biasanya lebih tinggi di daerah kepulauan daripada Siam dan
Indocina (Reid, 2014:72). Ketinggian yang bervariasi ini rupanya memiliki
keterkaitan dengan kedudukan seseorang di masyarakat tersebut. ketinggian rumah
seorang bangsawan/raja akan berbeda dengan ketinggian rakyat biasa.
Selain
bentuknya yang berupa rumah panggung, rumah penutur bahasa austronesia memiliki
atap dari daun-daunan dan berbentuk curam. Bentuk atap dari daun-daunan
dikarenakan oleh lingkungan alamnya dimana pohon-pohon melimpah ruah untuk
dimanfaatkan semaksimal mungkin. Apabila batangnya dijadikan sebagai konstruksi
dasar, maka daunnya dimanfaatkan sebagai atap. Daun yang digunakan ini biasanya
berasal dari pohon kelapa atau dari jenis palem-paleman. Bentuknya yang curam
merupakan bentuk adaptasi terhadap iklim tropis terutama pada musim hujan (Reid
2014:72). Dengan bentuknya yang curam, memungkinkan air mengalir turun lebih
cepat sehingga air tidak akan merembes masuk.
Terminologi
ketiga yaitu tungku. Pada rumah-rumah tradisional tungku merupakan unsur
penting yang selalu ada. Tungku biasanya digunakan untuk memasak. Tungku
perapian pada rumah-rumah di Asia Tenggara dipasang melesak ke dalam lantai, di
belakang ruang dapur dan di sebuah beranda bersama atau ruangan lain untuk
menerima tamu di bagian depan rumah. Perapian dan ruang tamu ini biasanya
dilletakkan di lantai yang lebih rendah daripada ruang tidur utama. (Alcina
1668 IV: 38; La Loubère 1691: 32; Reid 2014: 74)
Di
Indonesia, rumah dengan bentuk berupa panggung, bertiang, beratap daun,
menggunakan tangga, dan memiliki tungku merupakan deskripsi bagi rumah
tradisional suku-suku yang ada di Indonesia. Hal ini seperti yang disebutkan
oleh James J. Fox dalam tulisannya yang berjudul “Comparative Perspectives on Austronesian Houses: An Introductory Essay”
yang menyebutkan rumah tradisional di Indonesia seperti Rumah Panjang di
Kalimantan Barat dan Rumah Gadang di Sumatra Barat sebagai sedikit contoh bagi
gambaran bentuk rumah penutur bahasa Austronesia. Rumah adat lain yang sesuai
dengan deskripsi menurut terminologi Blust tersebut antara lain rumah adat Tongkonan,
deu renu dan deu rato (rumah tradisional orang Bunaq, NTT), rumah tradisional di Bima dan Dompu (NTB),
ruah adat Baileu (Maluku), rummah adat Sasa’du (Maluku Utara), rumah kaki
seribu (Papua Barat), Rumah Baluq Dayak
Bidayuh, Rumah Betang (Kalimantan Tengah), dan lain sebagainya. Selain di
Indonesia, deskripsi tersebut juga sesuai dengan rumah di sederhana Thai dan
Visaya.
[1] U =
Utara, meliputi Formosa, B = Barat, Melayu-Polinesia Barat, dan T = Timur,
Melayu-Polinesia Timur
Komentar
Posting Komentar