TINJAUAN SINGKAT : BAHASA SAMIN SUATU BENTUK PERLAWANAN SOSIAL

Bahasa merupakan simbol yang digunakan manusia untuk berkomunikasi supaya interaksi antarmanusia dapat berjalan dengan lancar.  Dengan demikian, bahasa disini berfungsi untuk menyampaikan ide/gagasan sehingga maksud dari komunikator bisa tersampaikan dengan baik.
            Bahasa merupakan media utama dalam berkomunikasi yang berwujud kode dan simbol dimana artinya bersifat arbitrer (makna dan tafsirnya beragam). Dalam perkembangannya, bahasa dibedakan menjadi dua kategori yaitu bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal yaitu bahasa yang disampaikan melalui kata-kata baik secara lisan maupun tulisan. Sedangkan bahasa non verbal adalah bahasa yang disampaikan menggunakan alat selain lisan maupun tulisan, misalnya body language (bahasa tubuh), paralanguage (suara dan artikulasi), object language (pakaian dan asesoris) dan lain sebagainya.
            Samin sebenarnya adalah nama seorang tokoh yang hidup pada zaman kolonial Belanda yang bernama lengkap Kiai Samin Surosentiko yang menetap di Desa Bapangan Kecamatan Menden Kabupaten Blora Jawa Tengah. Oleh masayarakat sekitarnya, ia dianggap memiliki kelebihan sehingga ia menjadi panutan masyarakat dimana perilaku dan gaya hidupnya menjadi acuan bagi masyarakat sekitar. Ia lalu membakukan perilaku dan gaya hidupnya menjadi sebuah ajaran disebut saminisme dengan babon ( induk) ajaran yang dihimpun dalam Serat Jamus Kalimosodo.
            Selain Kiai Samin Surosentiko ada pula tokoh  lain yang cukup berpengaruh yaitu Pak Engkrek. Pak Engkrek menanamkan ajaran Samin tersebut di Desa Klopodhuwur yang terletak 7 km, sebelah selatan kota Blora, yang merupakan kawasan pinggiran hutan.
Masyarakat Samin secara umum menggunakan bahasa Jawa sebagai media komunikasi antarwarga. Bahasa Jawa memiliki tingkatan-tingkatan yang penggunaannya disesuaikan dengan konteks dan posisi/derajat komunikator dan komunikan. Orang Samin kebanyakan menggunakan basa Ngoko dalam percakapan di antara mereka. Hal ini mencerminkan kesamaan derajat yang kental.
Masyarakat Samin dalam mempergunakan bahasa, khususnya bahasa jawa memiliki gaya tersendiri. Hal tersebut berkait erat dengan sikap dan pilihan hidup orang Samin pada awal terbentuk dan berkembangnya, yaitu sikap dan pilihan hidup untuk menentang Belanda. Ada empat hal pokok yang menjadikan penolakan terhadap perintah belanda, yaitu penolakan membayar pajak, penolakan memperbaiki jalan, penolakan jaga malam/ronda, dan menolak kerja paksa.
Perlawanan masyarakat Samin terutama ditujukan pada penolakan pemungutan pajak. Mereka berpendapat bahwa semua harta dan kekayaan milik sendiri tidak perlu dipajaki. Sehingga setiap kali dipungut pajak, mereka selalu berusaha mencari cara agar terbebas dari pungutan atau membayar sekecil mungkin. Bentuk penolakan lain yaitu jika dipungut pajak akan memberi seikhlasnya, kalau Belanda tidak mau tidak akan dibayar tidak peduli Belanda suka atau tidak. Memperbaiki jalan juga tidak usah. Tidak perlu jaga malam, lebih baik menjaga rumahnya sendiri serta menolak kerja paksa selama 3 tahun.
Gaya bahasa yang digunakan dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda misalnya saat ditanyai berapa jumlah sapimu, orang Samin menjawab dua padahal memiliki banyak sapi. Meskipun terkesan berbohong, mereka tdak merasa berbohong karena yang dimaksud ‘dua’ di sini yaitu dua jenis sapi, jantan dan betina.
Sikap yang diperlihatkan oleh masyarakat Samin tersebut adalah wujud halus perlawanan terhadap Belanda. Mereka menggunakan metode perlawanan kultural karena tidak mampu mengahadapi secara frontal.

Namun dewasa ini, Saminisme hanya tinggal legendanya saja baik legenda mengenai Pak Engkrek maupun Kiai Samin Surosentiko. Hal ini disebabkan pendidikan dan pemabngunan ekonomi masyarakat dari komunitas tertutup menjadi masyarakat terbuka.



untuk membaca artikel lengkap mengenai Bahasa Samin : Suatu Bentuk Perlawanan Sosial, anda bisa mencari di perpustakaan dengan keyword Samin. Semoga Beruntung!

Komentar

Postingan Populer