DIASPORA DAN SUKU KAO, KECAMATAN KAO, KABUPATEN HALMAHERA UTARA, PROVINSI MALUKU UTARA
DIASPORA : KONSEP DASAR,
PENGERTIAN, DAN TEORI
Konsep
Dasar Diaspora
Diaspora berbeda dengan
migrasi ataupun transnasionalisme. Ketiga istilah tersebut sering kali disalah artikan. Meskipun ketiganya
sama-sama memiliki pemahaman perpindahan atau persebaran penduduk. Migrasi
lebih kepada perpindahan suatu kelompok secara besar-besaran akibat adanya
suatu keharusan (misalnya karena kondisi yang tidak aman, kekurangan makanan)
tanpa adanya keinginan untuk kembali dari para imigran, serta lebih kepada
keinginan memulai hal yang baru di tempat yang baru. Migrasi lebih kepada keadaan
terpaksa, sehingga mengharuskan mereka berpindah tempat dan tidak memungkinkan
mereka kembali lagi ke daerah asal. Transnasionalisme lebih kepada keinginan
seseorang untuk pergi dari wilayah asal secara sukarela tanpa ada keinginan
untuk kembali (menetap di daerah tujuan) antar dua negara atau lebih. Dengan
demikian, hubungan dengan wilayah asal masih jelas namun, tidak adanya sense of belonging dari negara asal
menjadi pembeda yang jelas antara transnasionalisme dengan diaspora.
Transnasionalisme tidak memiliki ikatan apapun yang menunjukkan wilayah asal
mereka.
Konsep dasar mengenai
diaspora itu sendiri dijelaskan oleh Quayson dan Daswani (2013) bahwa “The contemporary concept of diaspora
involves an understanding of shifting relations between homelands and host
nations from perspective both of those who have moved , wether voluntarily or
not, and of the recipient societies in which they find themselves. While
diasporas emerge out of dispersals, not all dispersals lead to diasporas.”. Persebaran populasi tertentu hingga mendorong
diaspora dapat terjadi apabila terdapat beberapa kondisi tertentu, seperti the tim-depth of dispersal and settlement in
other location, the developement of a myth of the homeland, the attendant
diversiication of responses to homeland and host nation, the evolution of class
segmentation and conflict within a given diaspora alongside to
concomitantevolutionof the elite group of cultural and political brokers, and
reinforcing different forms of material and emotional investment in an
imaginary ideal of the homeland. (Quayson & Daswani, 2013)
Hal ini cukup menjelaskan
bahwa diaspora dapat dipahami sebagai kondisi dimana persebaran populasi yang
ada tetap dilandasi dengan sense of
belonging dari wilayah asal yang ditunjukkan dengan kemunculan
simbol-simbol terkait dengan daerah asal.
“For diaspora space is inhabitated not only by those who
have migrated and their descendants but, equally by those who are constructed
and represented as indigenous. In other words, the concept of diaspora space
includes the entanglement of ginealogies of dispersion with those of ‘staying
put’” (Brah 1996: 18 dalam Quayson &
Daswani, 2013)
Butler (2001) memaparkan dalam
tulisannya berjudul Defining Diaspora, Refining
a Discourse bahwa terdapat tiga ciri mengenai diaspora yang disetujui oleh
sebagian besar ahli yaitu
1.
Setelah terjadinya pengusiran dari daerah asal, terdapat
paling sedikit dua daerah tujuan, karena istilah diaspora sendiri lebih merujuk
pada persebaran yang dalam bahasa inggris merujuk pada istilah disperse, spread, spores, dan sperm(Tololyan, “Rethingking” 10, dalam
Butler 2001)
2.
Adanya hubungan dengan daerah asal dengan kondisi yang
sesungguhnya atau daerah asal dengan kondisi yang dibayangkan (karena sudah
tidak ada)
3.
Adanya kesadaran terhadap identitas kelompok tempatnya
berasal, yang pada umumnya berkaitan dengan identitas budaya daerah asal.
Pengertian
Diaspora
Diaspora merupakan kata
yang berasal dari yunani,yang dimaksudkan sebagai persebara populasi (melalui
pengusiran atau secara keterpaksaan) ke seluruh dunia, oleh sekelompok orang
yang berasal dari daerah yang sama (Cohen, 2001: Dufoix, 2008 dalam Ben-Rafael, 2013). Hal yang sama juga diungkapkan oleh
Butler (2001) bahwa diaspora, secara sederhana berarti persebaran (dalam hal
secara keterpaksaan) orang dari daerah asal mereka.
Diaspora merupakan semacam
persebaran suatu kelompok orang dari daerah asalnya, dimana kepindahan mereka
tidak membuat ikatan yang ada dengan wilayah asalnya lepas begitu saja, yang
biasanya diakibatkan oleh keterusiran (dispersal)
atau keterpaksaan. Meskipun demikian,
keinginan untuk kembali ke daerah asal (the
idea of return) tetap dimiliki. Diaspora ini biasanya ditandai dengan
identitas yang mereka tampakkan terkait daerah asal. Hal ini menyebabkan relasi
dengan asal menjadi tidak jelas. Sebagai contoh diaspora orang Tionghoa (Cina)
ditampakkan dengan berbagai simbol kebudayaan mulaidari Kelenteng, upacara
tahunan, makanan, hingga pakaian dan kebiasaan sehari-hari.
Georgiou (dalam Budianta,
2008: 31) menyatakan bahwa diaspora “...sebagai komunitas yang terdiri dari
orang-orang yang pernah mengalami migrasi dan mereka yang dilahirkan dan
dibesarkan di negara pemukiman yang baru. Diaspora mengimplikasikansuatu kaitan
dengan etnisitas atau budaya tertentu dari tepat asal, yang masih menjadi (salah
satu) acuan penting, bukan saja bagi generasi yang engalami tapi juga bagi
generasi yang lahir di tempat pemukiman baru. Konsep ini mengandung juga
pengertian bahwa acuan terhadap budaya asal tetap relevan, walau besar
kemungkinannya terus menerus diproses dan berubah sesuai dinamika budaya yang
terjadi di tepat pemukiman baru. konsep ini juga mengacu pada pengalaman
kesejarahan yang khas dari komunitas tersebut, yang membedakannya dari
komunitas budaya lainnya. Diaspora jugamengasumsikan adanya jaringan
transnasuonal dari orang-orang yang merasa mempunyai ikatan dengan
komunitas-komunitas di luar batas ruang yang melingkupi mereka. (Wibowo, 2012)
Teori
Diaspora
Diaspora seperti yang
telah dipaparkan di atas merupakan persebaran populasi manusia akibat
pengusiran dari daerah asal, dengan tetap mempertahankan identitas budaya
daerah asalnya.
Terdapat beberapa macam
teori mengenai diaspora itu sendiri, diantaranya yaitu Teori Modernisasi,
Dependency Theory, dan Human Capital Theory.
1.
Teori
Modernisasi
Berdasarkan teori ini, diaspora dipandang
sebagai hasil dari perkembangan umat manusia, yang terdiri atas lima tahap,
yaitu
a.
tahap
tradisional
b.
tahap
prakondisi lepas landas
c.
tahap
lepas landas
d.
tahap
kedewasaan
e.
tahap
konsumsi massa.
Semakin
maju tahap perkembangan manusia, semakin tinggi mobilitas manusia. Tingginya
mobilitas ini berimbas pada terjadinya diaspora.
2.
Dependency
Theory
Teori
Ketergantungan (Dependency Theory) menitikberatkan pada persoalan keterbelakangan
dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Teori ini mencermati hubungan dan
keterkaitan negara Dunia Ketiga dengan negara sentral di Barat sebagai hubungan
yang tak berimbang dan karenanya menghasilkan akibat yang akan merugikan Dunia Ketiga. Negara sentral
dianggap akan selalu menindas negara Dunia Ketiga dengan berusaha menjaga
aliran surplus ekonomi dai negara ‘pinggiran’ ke negara sentral. (Sardin, 2012)
Berdasarkan
teori ini, diaspora dianggap sebagai hasil dari ketergantungan terhadap
teknologi, pakiaan, dan lain sebagainya terhadap negara sentral. Ketergantungan
ini menyebabkan adanya mobilitas.
3.
Human
Capital Theory atau Teori Modal Manusia
Teori ini
beranggapan bahwa manusia merupakan suatu bentuk barang modal seperti tanah,
uang, dan lain sebagainya. Konsep mengenai modal manusia dapat dijelaskan
sebagai kemampuana tau kapasitas baik sejak lahir atau keturunan maupun
pengumpulan yang dibentuk selama usiabekerja secara produktif diikuti dengan
bentuk0bentuk modal ayau input lain yang bertujuan untuk mencapai kemapanan
ekonomi (Muzakar & Wajdi, 2013) . Modal yang dimaksud
meliputi modal kesehatan, pendidikan, serta kualitas lain yang dimiliki seorang
manusia.
Menurut teori ini,
diaspora dipandang sebagai hasil munculnya permasalahan human capital yang menyebabkan bergesernya konsep belonging. Sebagai sebuah modal
mobilitas manusia dianggap sebagai suatu aliran modal. Mobilitas manusia dari
daerah asal ke daerah tujuan menyebabkan terjadinya brain drain pada daerah asal dan brain gain pada daerah tujuan.
untuk artikel lengkpanya bisa diunduh di sini
Komentar
Posting Komentar